Rustan Ibnu Abbas

Memotivasi, Mencerdaskan, Inspirastif


Tinggalkan komentar

Aturan Fidyah Dalam Islam

MOMFidyah atau fidaa atau fida` adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie,Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).

Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada 3 (tiga) golongan; Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia, dan orang sakit yang tak dapat diharap kesembuhannya. Dalilnya firman Allah SWT :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184).

ibnu Abbas RA menafsirkan ayat tersebut dengan berkata,”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai hutang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa shahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Para ulama Maliki mengatakan bahwa orang yang sedang hamil dan menyusui apabila dengan dengan berpuasa dia mengkhawatiri dirinya akan sakit atau bertambah sakitnya—baik dia kahwatir terhadap dirinya atau anaknya atau dirinya saja atau anaknya saja—maka dibolehkan baginya untuk berbuka dan hendaklah dia mengqadhanya dan tidak wajib bagi seorang wanita yang hamil untuk mengeluarkan fidyah berbeda dengan seorang yang sedang menyusui maka wajib baginya fidyah. Adapun apabila keduanya khawatir dengan puasanya akan mencelakakan dirinya atau anaknya maka wajib baginya untuk berbuka.

Para ulama Hanafi mengatakan bahwa apabila seorang yang hamil atau menyusui khawatir puasanya akan membawa calaka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka baik dirinya khawatir terhadap diri dan anaknya atau terhadap dirinya saja atau anaknya saja dan diwajibkan baginya qadha ketika dirinya memiliki kesanggupan tanpa ada kewajiban fidyah.

Para ulama Hambali mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang yang hamil dan menyusui untuk berbuka apabila mereka berdua khawatir puasanya dapat mencelakakan diri dan anaknya atau terhadap dirinya saja maka diwajibkan bagi keduanya dalam kedua keadaan tersebut untuk mengqadha tanpa perlu membayar fidyah. Adapun apabila keduanya khawatir terhadap anaknya saja maka wajib baginya untuk mengqadha dan membayar fidyah.

Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa seorang yang hamil dan menyusui apabila khawatir dengan puasanya akan membawa celaka dan dia dalam keadaan tidak menyanggupinya baik kekhawatiran terhadap diri dan anaknya sekaligus atau terhadap dirinya saja atau terhadap anaknya maka wajib baginya untuk berbuka dan mengqadha dalam tiga keadaan itu dan diwajibkan baginya membayar fidyah dan qadha dalam keadaan terakhir, yaitu apabila dia khawatir terhadap anaknya saja. (Fatawa Al Azhar juz IX hal 291)

Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang yang sedang hamil untuk berbuka pada bulan Ramadhan apabila dia khawatir terhadap janinnya akan meninggal…boleh baginya tidak berpuasa.. bahkan apabila kekahwatiran itu menguat atau hal itu telah ditetapkan oleh seorang dokter muslim yang bisa dipercaya dalam kedokteran dan keagamaannya maka wajib baginya untuk tidak berpuasa sehingga tidak menyebabkan kematian bayinya. Allah swt berfirman :

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu.” (QS. Al An’am : 151) (QS. Al Isra : 31) Ia adalah jiwa yang harus dihormati sehingga tidak boleh bagi seorang laki-laki maupun [erempuan untuk menyakitinya dan melakukan suatu perbuatan yang bisa mengakibatkan kematiannya.

Jenis dan Kadar Fidyah
Ternyata tidak ada dalam nash secara khusus yang menjelaskan tentang jenis dan kadar fidyah. Namun ada beberapa pendapat ulama berkaitan tentang kadar dan jenis fidyah tersebut,
Pendapat pertama, fidyah tersebut adalah sebanyak 1 mud dari makanan untuk setiap harinya. Jenisnya sama seperti jenis makanan pada zakat fitri.
Pendapat kedua, fidyah tersebut sebagaimana yang biasa dia makan setiap harinya.
Pendapat ketiga, fidyah tersebut dapat dipilih dari makanan yang ada.

Dalam kaidah fikih, untuk permasalahan seperti ini maka dikembalikan ke urf (kebiasaan yang lazim). Maka kita dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan. Namun tetap diingat, sebagaimana Imam Nawawi rahimahullah katakan, “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung yang sangat halus (sawiq), biji-bijian yang telah rusak. Tidak sah pula membayar fidyah dengan uang.”

Cara Pembayaran:
Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,
1. Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
2. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.

Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang faqir. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang faqir saja sebanyak 20 hari.

Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu’anhu ketika beliau telah tua.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia mengatakan, bahwa ia tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejana tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah), kemudian mengundang sebanyak 30 orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih sanadnya: Irwaul Ghalil IV:21 dan Daruquthni II: 207 no. 16)

Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyahnya.